Dea Valencia, Gadis Miliuner Dari Usaha Batik
Hai P.I Lovers Selamat membaca, Salam Sukses !
Bagi sebagian orang, mungkin sulit
membayangkan bahwa seorang gadis muda belia sudah bisa menjadi pengusaha sukses
dengan penghasilan milyaran. Apalagi jika capaian tersebut diperoleh dengan
keringat sendiri tanpa warisan kekayaan harta orang tua.
Namun Dea Valencia Budiarto membuktikan
bahwa hal itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dicapai. Jika banyak orang
berusia muda yang baru lulus dari universitas (fresh graduate) memiliki
pendapatan bulanan pada kisaran jutaan, hal ini tak berlaku bagi Dea. Di usia
22 tahun, Dea telah menjadi wirausahawan sukses dengan berdagang batik dengan
merek Batik Kultur.
“Saya benar-benar belajar dari awal sejak
saya mulai jatuh cinta dengan batik. Jadi semua motif batik yang saya jual
designnya adalah hasil karya saya sendiri. Tentu banyak yang saya adaptasi dari
model batik lawasan. Awal tahun 1900-an, banyak orang Belanda yang belajar
membatik.Mereka adaptasi beberapa dari dongeng Belanda. Nah, ini yang saya
modernisasi,” kata Dea dalam wawancara khusus dengan Suara.com di acara Astra
Startup Challenge di Jakarta.
Dea mulai menjalankan bisnis batik sejak
usia 16 tahun di tahun 2011. Setahun pertama, ia menjual batik lawasan. Seiring
berjalan waktu, ia mulai menjual batik tidak lagi dalam bentuk kain, tetapi
sudah menjadi baju Ketidaksanggupannya membeli batik yang ia inginkan justru
menjadi awal mula kesuksesannya.
Seiring berjalannya waktu, ketika awal
produksi Batik Kultur hanya membuat 20 potong pakaian, kini bisnis Dea mampu
memproduksi 800 potong Batik Kultur setiap bulan Dengan harga Rp 250.000 - 1,2
juta, nilainya setara dengan Rp3,5 miliar per tahun atau Rp300 juta per bulan.
Dea memulai Batik Kultur benar-benar dari
nol. Bahkan ia sendiri yang menjadi model Batik Kultur. Beruntunglah, wajah Dea
yang cantik mempermudah jalannya untuk tampil di hadapan kamera. Bahkan Dea
sendiri yang mendesain produk Batik Kultur padahal ia mengaku tak bisa
menggambar. Untuk itu, Dea memiliki seorang rekan yang bisa diandalkan
untuk mentranfer imajinasinya tentang pola batik menjadi sebuah gambar.
Kini Batik Kultur bahkan telah diekspor ke
beberapa negara. Beberapa customer dari Norwegia, Amerika Serikat, Kanada,
Jepang, Australia, Singapura dan Hongkong sudah melakukan pemesanan. “Cuma
produksinya untuk ekspor dalam jumlah besar belum dilakukan. Karena kemampuan
produksi kami masih kurang untuk memenuhi permintaan dari konsumen dalam
negeri,” jelas Dea.
Tak cuma batik, Batik Kultur pun merambah ke
tenun ikat. Khusus yang satu ini, Dea harus membelinya di Jepara, tepatnya di
Desa Troso yang merupakan sentra tenun ikat. Jika dulu hanya membeli beberapa
meter kain, kini sekali kulakan Dea membeli tak kurang dari 400 meter tenun
ikat.
Sebagai alumni program studi Sistem
Informasi Universitas Multimedia Nusantara, Dea paham betul kekuatan internet
untuk pemasaran. Batik Kultur 95 persen memanfaatkan jaringan internet dalam
urusan permasalahan.
Dea menjadikan Facebook dan Instagram
sebagai katalog dan media komunikasi dengan konsumennya. Dari sana, referensi
untuk Batik Kultur menyebar dari mulut ke mulut. Integrasi dunia maya dan dunia
nyata menyukseskan bisnis Dea.
Bagi Dea, kesuksesan bisnis tak diukur dari
berapa banyak produknya terjual atau berapa banyak customer yang dimiliki.
Termasuk soal pendapatan usaha, menurutnya itu bukanlah hal yang utama. “Bagi
saya justru berapa banyak orang yang bisa saya berdayakan untuk bekerja di
bisnis yang saya miliki ini. Saya bangga awalnya saya hanya punya seorang
karyawan, kini saya punya 85 karyawan. Bahkan 40 diantara mereka adalah
diffabel. Untuk saya, ini tolak ukur yang lebih penting,” jelas Dea.
Saat ini Batik Kultur baru memiliki 1 galeri
penjualan di Semarang, Jawa Tengah, kota asal kelahiran Dea. Namun dalam waktu
dekat, ia akan mendirikan 1 galeri lagi di Ibu Kota Jakarta. “Karena memang
pemesanan pembelian online terbanyak kami dari Jakarta,” tutup Dea.
Source :
Suara.com
Share Artikel :
Post a Comment